Indy "Sayang Keluarga"

, , No Comments
Akhirnya setelah perjalanan panjang dari Bandung ke Jakarta aku pun sampai di rumah baru ku yang tampak sederhana di daerah Kemanggisan Jakarta Barat. Rumah 2 lantai yang minimalis, terdapat 1 kamar utama, 2 kamar anak-anak dan 2 kamar tamu. Ya memang tidak begitu besar di banding rumah ku di Bandung. Halaman seadanya, dan garasi untuk 2 mobil. Tapi aku tetap bersyukur, aku masih bisa bersama-sama orang tua ku dan adik ku Putra.
Aku memasuki ruang tamu dan terlihat seyum manis bunda yang sejak tadi menunggu ku beserta ayah dan Putra.
“Hore, eteh Indy udah datang”, sambut Putra.
“Alhamdulillah Ndy, kamu baik-baik saja”, sapa Ibu sambil memelukku.
“Alhamdulillah bun, aku baik-baik aja, Bandung – Jakarta mah deket bun”, jawabku sambil terseyum.
“Iya, iya anak ayah kan hebat-hebat semua”, ucap ayah membanggakanku.
“Siapa dulu dong yah, Syafrina Indy Gunawan gitu loh”, jawabku membanggakan diri.
“ckckck dasar Indy, dari dulu gak pernah berubah”, ucap bunda sambil mengacak acak rambutku.
“Hehehe, aku bersih-bersih dulu ya bun. Terus kita makan malam bareng, aku udah lapar sekali nih”, ucapku.
“Yasudah sana, nanti kita main-main ke Bandar Jakarta untuk makan malam”, ucap bunda.
“Asik, Sea Food”, ucapku kegirangan.
Aku pun bergegas menuju kamarku di lantai 2. Terdengar suara bunda agar memintaku untuk tidak berlari.
“Indy, jangan lari-larian di tangga, hati-hati sayang. Di tungguin kok”, teriak bunda.
“Heheh OK Bunda, biar cepat aku udah lapaaarrr”, jawabku.
Aku memasuki kamar yang di pintunya terdapat papan namaku “Indy’s Room”. Ku buka pintu kamar dan ku lihat sekeliling kamar yang ukurannya tidak begitu besar namun terdapat kamar mandi di dalamnya. Ada 1 tempat tidur berukuran sedang 1 set lemari beserta meja rias dan meja belajar dimana ada notebook, tumpukan buku pelajaran ku, koleksi komik dan novel ku. Kamarku yang di balut wall paper biru berlukiskan ikan hias memberi kesan sejuk . Dan ku lihat di pojok ruangan terdapat Momo ikan mas koki peliharaanku.
Aku pun segera mandi dan bersiap-siap untuk pergi makan malam di luar. 30 menit aku membersihkan diri, aku pun bergegas ke ruang tamu dimana ayah, bunda dan Putra sudah menungguku.
“OK semua, aku sudah siap”, ucap ku dengan lantang.
“Bi Inah, ayo bi ikut dengan kami, bibi kan juga belum makan”, ajak bunda.
Kami pun pergi makan malam bersama, dimana terdapat ayah, bunda, aku, Putra, bi Inah dan Pak Karto. Dengan menggunakan Toyota Fortuner, mobil yang biasa ayah gunakan untuk ke kantor kami pergi makan malam ke Bandar Jakarta. Dimana Pak Karto yang mengemudikan, disamping pak Karto ada ayah dan Putra dan di tengah ada aku, bunda dan bi Inah. Bi Inah dan Pak Karto lama bekerja di keluarga kami. Bi inah bekerja sejak Putra lahir, 3 tahun lalu sedangkan pak Karto sudah mengabdi pada keluarga kami sejak aku berusia 5 tahun. Pak Karto yang sangat tau gimana keluarga kami, kesuksesan kegagalan bisnis ayah pun ia tau. Pernah suatu waktu dulu pak Karto di angkat menjadi kepala supir di kantor ayah, namun baru 3 hari bekerja pak Karto mengundurkan diri dan meminta agar ia tetap menjadi supir keluarga saja. Katanya pak Karto pusing melihat hitung-hitungan karcis tol dan bensin yang setiap hari anak buahnya beri, hitungannya terlalu rumit. Hahaha lucu sekali ya. :D
Sesampainya di Bandar Jakarta kami pun memesan makanan favorit kami, mulai dari ikan bakar, kepiting, cumi, udang dan cah kangkung. Kami semua sangat gembira bisa berkumpul seperti sekarang ini.
“Oh iya, habis dari sini kita ke rumah Pakde Dodo ya”, ucap bunda.
“Tidak kemalaman bun? Rumahnya kan agak jauh dari sini”, jawab ayah.
“Iya juga sih, ya sudah besok saja kalau begitu”, jawab bunda memastikan.
Aku pun menggangguk sambil asik dengan kepiting saus padang yang sedang aku santap.
Kami selesai makan jam 21:05, dan kami pun bergegas pulang, karena Putra sudah mengantuk. Di perjalanan pulang dari Bandar Jakarta Ancol sampai rumah aku terus memandangi pemandangan Jakarta dari kaca mobil. Sungguh sangat berbeda dengan Bandung, tidak ada sawah dan yang paling ekstrim sekali perbedaannya Jakarta panas, tidak sesejuk Bandung.
Pukul 22:03 aku sudah berada di dalam kamarku, ku coba untuk memejamkan mata. Tapi sepertinya aku belum mengantuk, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan duduk si depan teras kamar. Kuliahat langit malam ini, sinar bulan menyinari Jakarta malam ini, ku lihat bintang dan ow ow bintangnya tidak ada. Agak sedikit kecewa, Jakarta memang tidak seperti Bandung. Terdengar suara hp ku bordering ternyata telepon dari Tami sahabatku.

“Tamiiiiii… aku kangen”, ucapku.
“Astaghfirullah, kaget gue. Gak usah pakai teriak kali yang”, ucap Tami terkejut.
“Hehehe, aku kesepian. Gak ada kalian, masa malam minggu jam segini udah ganti baju tidur”, ucapku memelas.
“Kamu sih, pakai pindah segala”, ucap Tami.
“ih kamu, aku juga sebenarnya gak mau. Cuma keadaannya memang harus seperti ini”, jawabku memelas.
“Gimana kamar barunya say? Pasti keren yaa?”, Tanya Tami.
“Biasa aja, di depan sih ada teras cuma di Jakarta gak ada bintangnya”, jawabku santai.
“Ah masa sih biasa aja, aku mau main dong mau curhat sampai malam lagi”, ucap Tami.
“Hayuk sini sini boleh banget, pindah ke Jakarta juga boleh”, jawabku antusias.
“hih.. aku mah cuma mau bertamu, gak mau pindah”, jawab Tami meledek.
“Hih kamu mah gak asik, aku nggak ada teman nih disini”, jawabku.
“Hehehe, nanti lama-lama juga punya teman say, bahkan pacar”, ledek Tami.
“Ye.. Gelo”, jawabku Keki.
“Oh iya, jadi sekolah dimana Ndy?”, tanya Tami.
“Yang pasti sih sekolah swasta Tam, si ayah gak ngizinin aku sekolah di SMU Negeri. Kamu tau kan alasannya apa”, jawabku.
“Iya iya, swasta lebih bagus menurut ayah Loo!! Hahaha”, ledek Tami.
“Ih, kamu mah punya hobby ngeledek orang”, ucapku kesal.
“Ih ih ih ngambek si Indy, hahaha”, ucap tami sambil tertawa.
“hahahaha,, habisnya si Tamtam bikin kesel”, jawabku tertawa.
“Aku kangen sama kamu Ndy, baru sehari aja begini. Kamu jangan lupain kita disini yah, tetep telepon dan sms kita ya”, ucap Tami dengan nada sedih.
“Iya pasti, kamu jangan nangis lagi dong. Nanti aku jadi sedih lagi”, jawabku.
“Iya, kamu jaga diri ya di sekolah yang baru, jangan ganjen sama senior, kalo ada senior rese jitak aja hahaha”, ucap Tami sambil tertawa.
“Ih jitak, gelo sia!!! Lagian siapa yang ganjen sama senior, itu mah si Inka banget”, jawabku.
“Hahaha siapa tau gitu kamu lo mau ikuti jurus mautnya si Inka”, ucap Tami meledek.
“Hahaha sorry la yaw..”, jawabku tertawa.
“Udahan dulu ya Ndy, pasti bakal kangen sama teman curhatku ini”, ucap Tami.
“Gue juga.. pasti bakal kangen sama si geboy yang satu ini”, jawabku meledek.
“Hahaha sial lo, besok kalo libur gue ke Jakarta, udah ngecilin pantat gue”, jawab Tami.
“OK di tunggu Bos, hahahaa”, jawabku.
“Dahhh.. miss u Ndy”, ucap Tami.
“Miss u too beb”, ucapku sambil menutupp telepon.
Waktu sudah menunjukan pukul 22:45, ternyata sudah larut malam. Aku pun segera berbaring mematikan lampu ruangan dan menyalakan lampu tidur yang terletak di samping kiri tempat tidurku.
Pagi hari pukul 05:15 aku sudah terbangun, aku segera sholat subuh dan membersihkan diri. Karena hari ini aku akan pergi ke rumah Pakde Dodo di daerah Jatinegara. Pukul 6:30 aku turun dan menuju ke meja makan. Di meja makan sudah ada Putra dan ayah serta bunda dan bi Inah yang sedang menyiapkan sarapan.
“Pagi semua’, ucapku.
“Pagi geulis”, jawab ayah.
“Masak apa bun, perlu bantuan?”, tanyaku.
“Tidak perlu sayang, sudah mau selesai kok”, jawab bunda dengan senyumnya.
Bunda menyiapkan nasi goreng dan telor ceplok setengah matang kesukaan ayah.
“Terima Kasih Sayang”, ucap ayah kepada bunda yang sedang menyendokkan nasi goreng ke piring ayah.
Kami pun sarapan bersama, selesai sarapan pukul 7:00 aku menyalakan televisi untuk nonton film kartun favorit ku.
Dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10:00 pagi. Bunda pun meminta aku, ayah dan putra untuk bersiap-siap karena kita akan berkunjung ke rumah Pakde Dodo di derah Jatinegara. Sepeluh menit kemudian kami pun berangkat ke rumah pakde Dodo, hanya aku, Putra, ayah dan bunda.
Pukul 12:00 kami sampai di rumah pakde Dodo di daerah Jatinegara, terbilang perjalanan yang panjang karena kami nyasar di jalan. Hehehe maklum saja sudah lama kami tidak main ke rumah Pakde Dodo di Jakarta. Biasanya kami bertemu di Jogja kampong halaman ayah. Pakde Dodo adalah kakak tertua ayahku, ia seorang dosen di salah satu universitas negeri di Jakarta. Pakde Dodo memiliki 2 anak perempuan mbak Lulu dan mbak Isti. Mereka sudah kuliah saat ini, bukde Sri adalah istri pakde Dodo. Keluarga ini adalah keluarga jawa asli, karena bukde Sri juga berasal dari Jogja.
Sesampainya kami di rumah pakde Dodo, mereka sangat terkejut, karena kami datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Apalagi mereka juga baru tau kalau kami saat ini menetap di Jakarta.
“Oalah Indy sudah besar ya sekarang, udah kelas berapa?”, tanya bukde Sri padaku.
“Kelas 2 SMU bukde”, jawabku ramah.
“Oalah, dulu tuh kamu senang sekali kalau di gendong pakde mu ini, sekarang sudang remaja, pasti sudah punya pacar ya”, tanya bukde Sri.
“Hehe bukde bisa saja, belum bukde belum boleh sama ayah sama bunda”, jawabku.
“Isti… Lulu ada Indy sama Putra dan Om Bayu sama Tante Nia, turun dulu sini”, panggil bukde Sri.
Tak lama kemudian mbak Isti dan mbak Lulu turun dari kamar menuju ruang tamu. Dan reaksi mba Isti dan mbak Lulu pun sama seperti orang tua mereka.
“Loh Indy, Putra, om,tante kok mendadak ada disini. Lagi liburan ya”, tanya mbak Isti sambil mencium tangan ayah dan bunda.
“Nggak Lu, kami sekarang menetap di Jakarta, makanya nanti kalau sudah tidak sibuk dengan skripsinya main-main ya ke Kemanggisan, kasian Indy belum punya teman”, ucap bunda.
“Ok tante, tapi maaf mungkin belum bisa dalam waktu dekat-dekat ini, soalnya aku lagi sibuk dengan skripsiku sedangkan Isti dengan KP nya”, jawab mbak Lulu.
“Oh gak papa kalau tidak bisa sekarang, tante dan om ngerti kok”, jawab ayah.
“Terus sekarang Indy sekolah dimana?”, tanya Bukde Sri.
“Belum tahu mbak, kami juga masih bingung SMU swasta di Jakarta yang bagus apa”, jawab bunda.
“Oh di SMU Pelita Harapan saja, di daerah kebon jeruk, gak begitu jauh juga toh dari Kemanggisan. Lulusannya lumayan disana, banyak mahasiswa saya lulusan sana”, jawab pakde Dodo.
“Boleh tuh mas, adanya di sebelah mana ya?”, tanya ayah.
“Nanti saya carikan dulu brosurnya, kemarin mahasiswa saya kebetulan KKP disana”, jawab pakde Dodo.
“Om tante, maaf aku sama mbak Lulu balik lagi ke kamar ya, soalnya besok ada deadline sama dosen pembimbing. Kami minta maaf tidak bisa menemani tante dan om”, pinta mbak Isti.
“Oh iya silahkan cantik, tante sama om gapapa kok, kan ada bapak sama ibu mu”, jawab bunda.
“Mbak aku ikut nimbrung di kamar mbak boleh nggak, janji nggak ganggu deh”, pinta ku.
“OK Come On”, jawab mbak Isti dan mbak Lulu bersamaan.
Aku pun meninggalkan bunda, ayah, putra, pakde Dodo dan bukde Sri di ruang tamu. Sepertinya perbincangan ayah dan pakde Dodo sangat seru. Membicarakan tentang kampong halaman dan pekerjaan mereka.
Sesampainya di kamar mbak Isti dan mbak Lulu yang cukup besar di banding kamarku, aku duduk di bantal bulat yang berbentuk bangku, mbak Lulu asik dengan laptopnya di meja belajar sedangkan mbak isti asik juga dengan laptopnya di atas kasur. Tiba-tiba suara mbak Lulu memecah kesunyian.
“Ndy, kamu tinggal di Jakarta pacarmu patah hati dong di Bandung”, tanya bak Lulu meledek.
“Ah mbak bisa saja, aku belum punya pacar mbak, gak boleh sama ayah dan bunda”, jawabku ramah.
“Ah bohong kamu Ndy, mbak nggak percaya, masa si eneng geulis belum punya pacar”, ledek mbak Isti.
“Suer tekewerkewer deh mbak, beneran aku tuh nggak punya pacar”, jawabku tertawa.
“Hahahaa, iya deh percaya. Nanti kamu pasti ketemu pacar kalau masuk SMU Pelita Harapan”, ucap mbak Lulu.
“Ah mbak sok tau”, ledek ku.
“Ih beneran, Pelita Harapan tuh sekolah orang kaya Ndy, cowoknya ganteng-ganteng, ceweknya cantik-cantik kaya kamu, beneran deh mbak nggak bohong”, terang mbak Isti.
“Hahaha, masa sih mbak, aku mah mau kaya mau miskin kalau anaknya asik-asik pasti aku jadikan teman”, jawabku.
“Teman apa teman”, ledek mbak Lulu
“Hahaha, mbak bisa saja. Aku belum mau pacaran mbak sampai lulus SMU nanti. Belum dapat restu dari ayah sama bunda, di suruh belajar yang benar dulu biar bisa masuk UI nantinya”, jawabku.
“Wah ini nih baru sepupu gue, bagoos nak mbakmu selalu mendoakan mu”, jawab mbak Lulu.
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 3 sore, kami pun bergegas pulang. Pakde Dodo dan Bukde Sri memintaku untuk menginap di rumahnya. Namun karena besok mulai masuk sekolah maka aku menolak dengan halus dan berjanji kalau libur nanti aku akan main lagi.
Akhirnya kami sampai di rumah pukul 7 malam, karena kami mampir terlebih dahulu ke Super Market untuk membeli kebutuhan rumah tangga untuk seminggu ke depan. Dan kami pun sempat makan di Food Court yang ada di Super Market tersebut.
Sebelum aku masuk ke kamar ayah bicara padaku. Kalau besok aku harus bangun lebih pagi karena besok adalah hari pertamaku bersekolah di Jakarta. Dan tadi pakde Dodo sudah menelpon kepala sekolah SMU Pelita Harapan yang kebetulan sahabatnya memberitahu kalau aku akan mendaftar di sekolah itu. Aku pun menyetujui keputusan ayah dan bunda untuk bersekolah di SMU Pelita Harapan.
Setelah berdiskusi dengan ayah dan bunda, aku segera ke kamar dan mempersiapkan perlengkapan buat besok. Mulai dari tas, seragam, buku-buku dan sepatu. Sebelum aku tidur aku mengirim sms untuk sahabat ku Tami.
“Tamtam geboy, aku besok mulai masuk sekolah di Jakarta. Insya Allah kalau gak ada halang rintang aku akan bersekolah di SMU Pelita Harapan. Info dari kakak sepupuku itu sekolah orang-orang kaya, doain aku ya semoga semuanya lancar, gak ada senior songong dan gak ada yang ganjen :P. Kamu juga besok harus bangun pagi, jangan telat ya geboy besok senin ada upacara bendera, OK”.
Tak lama kemudian Tami pun membalas sms Indy.
“Iya Indy cantik, doa ku selalu menyertaimu. Inget pesan aku, jangan ganjen :P hehehe. OK aku tidur dulu ya, biar besok nggak kesiangan. Soalnya gak ada tebengan :P “
Indy pun tersenyum membaca sms Tami. Pikiran ku pun melayang layang gimana ya besok di sekolah baru, anak-anaknya sama nggaknya dengan sekolah ku dulu di Bandung. Aduh… kok jadi deg deg an gini…!!!!
-bersambung-

0 Comment:

Posting Komentar